A confession of a Person with Bipolar Disorder - Pengakuan Pribadi "Saya mengidap Bipolar"
Menuliskan ini adalah sebagai tanggung jawab moral sebagai penerima beasiswa Australia Awards Scholarships dimana saya mempelajari dunia Special Education; Dunia orang-orang yang memiliki "kekhususan". Salah satu alasan saya mengambil jurusan ini dan mati-matian saya perjuangkan; saya banting STIR dari jurusan saya sebelumnya adalah saya memiliki gangguan jiwa.
Saya harus mengadvokasi orang-orang dengan gangguan jiwa dan masyarakat bahwa kami hanya butuh dianggap ada bukan untuk dikasihani. Lalu, saya maju mundur untuk menguak sisi gangguan jiwa saya, tapi ketika salah satu mata kuliah saya di Flinders membahas tentang bagaimana pendidik harus menguatkan anak-anak yang memiliki kekhususan agar berani menentukan mimpi mereka, berani memutuskan hal-hal krusial dalam hidup dan hidup mandiri. Lalu bagaimana saya bisa melakukan ini kalau saya bersembunyi dibalik gangguan jiwa saya dan tidak mau mengungkapnya sementara saya mendapatkan jatah dan fasilitas pada beasiswa ini karena 'kekhususan' saya.
BISMILLAH
Apakah saya mundur? Yah saya pernah berada di titik itu, meratapi hidup bak dunia sudah runtuh setelah vonis dokter tepatnya di tahun 2008 akhir. Lalu setelah berbulan-bulan konsultasi dengan psikiater dan dia bilang sampai kapan kamu bertanya WHY ME? WHY ME? Kenapa tidak mengubah pola pikir apa yang harus saya lakukan dengan gangguan jiwa ini. Nasehat ini bak strum bagi saya untuk bangkit.
Yah saya sudah cukup menyusahkan orang dengan keadaan seperti ini, lalu bagaimana kalau saya CUKUP untuk memperbaiki diri saja, tidak menjadi beban orang lain. SIMPEL. Mungkin orang lain berjuang meraih SyurgaNya Allah dengan bekerja keras, berhaji, berinfaq, berpuasa, NAH saya cukup bersabar saja dengan gangguan ini.
and the story goes......
Ini adalah pergolakan batin antara menulis atau tidak tentang anxiety disorder yang saya idap karena part disleksia sudah selesai dan tamat. Anxiety Disorder adalah salah satu dari gangguan jiwa yang ditandai dengan rasa cemas berlebih terhadap berbagai hal.
STOP jangan berhenti disini! Setiap orang memiliki rasa cemas namun pengidap anxiety disorder melebihi ambang batas cemas orang normal. Hal sepele, saya sangat cemas saat akan keluar rumah – membayangkan keluar rumah saja saat masih menggeliat di pagi hari membuat otak saya berfikir seolah-olah terjadi perang dunia kalau keluar rumah, cemas berlebih saat di keramaian – saya merasa semua orang melihat saya dan memperhatikan saya hingga saya menunduk dan lebih sering memakai baju kaos yang dengan penutup kepala.
Gejala ini telah terlihat saat saya SMU, saya merasa tidak seperti anak-anak lainnya. Kenapa saya merasa cemas melewati pintu gerbang sekolah, kenapa saya merasa cemas saat berada di dalam kelas, merasa cemas barang-barang saya akan hilang, merasa tidak aman saat bepergian, takut berbicara dengan orang baru karena merasa dia adalah penjahat, dan ketika serangan cemas itu “kumat” saya bisa menarik diri tidak mau diajak bicara, tutup kamar, dan dunia terhenti.
Saya tidak memiliki minat untuk berbicara remeh temeh atau istilah orang obrolan ringan basa basi, saya tidak berminat bergaul dengan orang lain karena takut dimanfaatkan, dan masih banya gejala abnormal pada diri saya. Saya merasa saat itu harus ke psikiater, namun waktu itu saya masih duduk di bangku SMU belum memiliki uang untuk ke psikiater. Dengan terbatasnya informasi saat itu, sering saya dengar orang berkata “ke psikiater tuh buang-buang waktu dan uang saja”. Jadi apa benar?
Tepatnya saat saya mengalami depresi yang pernah saya tulis pada bagian sebelumnya dan saya ditangani psikiater dan psikolog di penghujung 2008. Saya akhirnya recovery dari depresi namun symptom cemas belum hilang dan saya tidak tahu membahasakan, ada apa ini? Lalu saya minta pada psikiater, dok apa nama gangguan yang saya alami. Lalu dia menuliskan rekomendasi agar saya di assesmen oleh psikolog. Biayanya mahal cuiy semua ini - yah semua harus dibayar demi sebuah obsesi menjadi orang "normal".
Beberapa sesi asesmen, dan hasilnya dianalisa psikolog, sampai saya mengejar-ngejar apa sudah selesai? Namun waktu yang dijanjikan sudah lewat juga, penantian berlanjut. Lalu saya datang ke klinik psikolog tersebut, dan dia minta saya menunggu hasilnya karena masih sementara dibuat lalu tibalah waktunya.
Perasaan yang saya sulit ungkapkan saat itu melihat hasil asesmen saya tepatnya 22 Juni 2009 di usia 24 tahun. Hasil assessment menunjukkan SARS (self-rating anxiety scale) saya melebihi batas normal. Saya harus minum obat apa biar sembuh? Tidak ada obat permanen yang menyembuhkan anxiety, kamu harus hidup sepanjang hayat, tegas psikolog.
Bu kok hasil asesmennya benar-benar menggambarkan diri saya selama ini, nah tesnya kan hanya tanya jawab sambil menggambar, main-main kartu, nyusun-nyusun puzzle, kok bisa tahu begini? Saya belajar 4 tahun lebih dan saya mengambil profesi tambahan jadi ini makanan saya, jawabnya. Lalu apa saya mengidap phobia sosial? Lalu saya tanya saya mengidap apa bu?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar