Selama masa English Academic Purpose (EAP) bulan Juli 2013 di Denpasar ada waktu dimana semangat ini berkobar untuk mencapai target demi mengenyam pendidikan di negeri kangguru namun ada kalanya semangat ini padam, lenyap, hilang diterbang seiring kesibukan yang tak berujung yang membawah saya dalam perenungan sebegini susahnya kah Rul untuk mengejar sebuah mimpi? Saya sadar pilihan untuk melanjutkan study ke luar negeri merupakan perjuangan panjang yang tak kenal lelah, perjuangan psikis dan fisik tak hanya materi non-materi pun harus saya korbankan sehingga pertanyaan segini hebatnya mimpi ini dimana masa-masa 'indah' yang mestinya saya nikmati saya justru berkubang dengan sederet persyaratan yang tak kunjung usai.
Tak kunjung usai di mata saya karena semakin jauh melangkah semakin banyak persyaratan yang dimintai. Saya kadang lelah sehingga rasa ingin mundur kadang terlintas namun pengalaman gagal saya dalam mengejar beasiswa, support dari teman di Palu, teman sekelas di IALF yang juga mengalami hal yang sama membuat saya kuat dan bertahan. Namun kadang badan ini sulit dibohongi, minggu-minggu awal saya stress sehingga mengakibatkan saya muntah-muntah. Saya ke dokter dan dokter mengatakan saya stress namun saya bilang, tidak dok saya baik adanya. Saya selalu menananamkan dan saya yakin pengejar beasiswa juga pernah mengalami hal yang sama.
Banyak hal dalam keluarga yang saya lewatkan. Rul, terlalu mahal mimpi ini hingga perjuangan tak berujung ini harus saya bayar mahal. Meninggalkan momen penting di keluarga adalah hal yang sangat miris dan menyedihkan kalau diingat-ingat namun semangat dari teman-teman yang justru lebih berat dari saya yang sudah memiliki pasangan dan anak dan mereka harus meninggalkan pasangannya justru memiliki beban ganda dalam belajar. Your effort is nothing Rul compare to them lah.
Orang di luar sana berfikir betapa enaknya mendapatkan beasiswa dan mendapatkan pelatihan di Bali bisa jalan-jalan, gaji sebagai PNS jalan terus ditambah lagi uang saku selama pelatihan di IALF yang saya terima tiap bulan melebihi gaji PNS saya sebagai PNS Gol.III/b.
Namun pernahkah terbesit dipikiran mereka disini saya harus berkompetisi melawan kemalasan diri, belajar yang hampir bisa dibilang dari semenjak bangun pagi sampai tidur lagi, dididik dengan gaya barat yang masih asing bagi saya mulai dari kebiasaan sampai hal akademis hingga terkadang harus berkompromi tentang masalah ibadah.
Sholat kadang 'kering' saya rasa saya sering menceritakan hal ini kepada teman bahwa shalat saya sudah tidak khusu karena dikejar deadlline tugas dan hanya disela-sela waktu istrihat. Jadwal pelajaran yang sangat dan super padat di IALF membuat sholat saya terburu-buru. Saya jarang sholat sunnat sepeti tahajjud dan Dhuha. Semua hilang kekhusukan itu, semua hanya dipenuhi ketakutan akan IELTS. seolah dunia saya semakin sempit hanya berkisar seputar IELTS dan segala tetek bengeknya. Kejadian-kejadian di luar tidak menarik di mata saya. mengabarkan kabar untuk keluarga saya pun sudah malas karena saya terperangkap dengan banyaknya kekuarangan saya di IELTS preparation.
Di awal-awal EAP saya sangat frustasi dengan diri saya, saya benar-benar merasa bodoh mungkin karena belum terbiasa ditambah lagi gangguan konsentrasi saya dimana sebagian orang sudah mengerti namun saya belum mengerti. Oh ya Allah begitu berat EAP bagi saya sehingga berhenti sejenak berfikir susahnya.
Sebelumnya saya sudah sempat menghentikan ke psikiater dan mengkomsumsi obat dokter namun rasanya kumat lagi diri saya saat beratnya beban EAP. Sesekali ingin loncat dari lantai dua kosan saya di Denpasar. Saya benar-benar frsutasi dengan tugas yang tidak ada hentinya dan saya tidak mengalami progress sama sekali. Saya melakukan tes di RS Sanglah Denpasar MMPI I. Yah saya stress ringan dan parahnya diagnosa psikiater saya mengidap bipolar disorder. Entahlah saya merasa dokter ini ngacau saya merasa tak merasa demikian. Saya selanjutnya pindah psikiater lain padahal yang sebelumnya itu adalah psikiater senior dan jam terbangnya sering ke luar negeri dan pengalamannya mengajar sudah lumayan namun bisa-bisanya melihat saya sebagai seorang bipolar disorder. heheheh. Saya merasa nyaman dengan psikiater sekarang di Denpasar sampai akhir EAP saya tetap konsultasi dan meminum obat.
Om saya meninggal saat saya EAP. Ini bukan hanya sekedar om karena dari semenjak SMA sampai saya bekerja sekarang telah tinggal bersamanya dikarenakan tante saya tak memiliki anak. Saya merasa bersalah ketika memutuskan tidak pulang. Namun disi lain adakah yang tahu kalau uang dikantong saya hanya sekitar 100ribuan. Saya pantang untung mengutang saya malu sebagai seorang penerima beasiswa berhutang terus. Malu rasanya. Disamping itu saya harus memilih apakah pulang Palu untuk melayat atau membiarkan penampilan seni tanpa saya yang sudah kami siapkan beberapa hari sebelumnya untuk berlomba pada malam farewell di Konsulat Australia di Bali. Saat berangkat ke acara tersebut saya menangis karena di Palu sana keluarga saya sedang berduka dan saya harus berpura-pura bersuka ria malam itu. Sesak rasanya namun alhamdulillah hadiahnya grup kami menjadi juara lagu Do I Make You Proud sepertinya dipersembahkan untuk om saya.
Berjuang untuk mendapatkan disability assessment yang dipersyaratkan Australia Awards Scholarships. Saya harus berangkat 'diam-diam' ke Jakarta untuk melakukan cek up di ADHD Centre sebuah lembaga untuk memberikan pemeriksaan kepada orang-orang dengan gangguan konsentrasi termasuk disability yang saya idap yakni Attention Deficit Disorder (ADD) disertai mild dyslexia. Saya tidak ingin teman sekelas saya tahu kalau saya berangkat ke Jakarta dan keluarga di Palu dan di Denpasar tak ada yang tahu. Akhirnya tesnya selesai dengan biaya mengutang sana sini untuk biaya tiket dan biaya med check yang tidak dicover sama AAS. Sorry to say kali ini namun saya berhasil mendapat approval lewat disability assessment tersebut. Thanks dokter Hendryk Timur sudah memberikan pemeriksaan yang sangat komprehensif.
Di akhir-akhir EAP kami makin disibukkan dengan DP yah DP bukan Dewi Persik namun Discussion Paper dimana kami harus menulis isu yang debatable di bidang kita masing-masing sebanyak 2000 kata. Karena saya memasuki ilmu yang baru yang akan saya pelajari di Australia maka saya melakukan riset kecil-kecil mengenai masalah dalam lingkup psikologi pendidikan. Banyak judul yang saya tawarkan namun tidak diterima oleh Mr. Jerry Cross. Tanpa melebih-melebihkan Mr. Jerry memang sangat disiplin dibanding guru-guru lain. Jika di kelas lain bisa memilih isu dari satu sisi dan sumbernya tidak harus 10 sumber dan panjangnya juga hanya 1500 namun aturan itu tak berlaku di kelas kami. kami selalu merasa 'disiksa' oleh Mr. J namun semangat kami untuk saling menyemangati kami berhasil melewati derita ini bersama-bersama dengan senyuman bahagia.
Fantastik, hasil IELTS dari kelas kami membawa kami seisi kelas berhasil masuk ke kampus tujuan masing-masing dan tak ada satupun dari kami yang harus mengulang. Prestasi besar bagi Mr. Jerry yang berhasil menjadikan kami murid yang rajin. Semua karena usaha dia membuat kita terpacu untuk belajar terutama bagi saya yang benar-benar terbelakang karena memiliki disability. Jika teman-teman memiliki disability termasuk learning difficulty sebaiknya memberitahukan kepada guru dan IALF Team agar disesuaikan pengajaran yang dibutuhkan. Berkat usaha Mr. Jerry Cross yang mungkin takkan kulupakan adalah dia memperjuangkan untuk saya untuk mendapatkan tambahan waktu untuk tes IELTS. Alhamdulillah Vlad selaku pimpinan IALF memberikan tambahan waktu 30 menit untuk writing test dan 30 menit untuk reading dan saya dipindahkan ke ruangan tersendiri dan dijaga dengan 1 orang staf IALF selama tes berlangsung. Akhirnya senyum manis merekah saat IELTS saya cukup untuk masuk ke Flinders bahkah beberapa band melebihi yang dipersyaratkan jurusan saya. Alhamdulillah ya Allah.
Khairullah
Master of Education - Special Education
Email: raza0017@flinders.edu.au
Mobile: +61450-191414
Tak kunjung usai di mata saya karena semakin jauh melangkah semakin banyak persyaratan yang dimintai. Saya kadang lelah sehingga rasa ingin mundur kadang terlintas namun pengalaman gagal saya dalam mengejar beasiswa, support dari teman di Palu, teman sekelas di IALF yang juga mengalami hal yang sama membuat saya kuat dan bertahan. Namun kadang badan ini sulit dibohongi, minggu-minggu awal saya stress sehingga mengakibatkan saya muntah-muntah. Saya ke dokter dan dokter mengatakan saya stress namun saya bilang, tidak dok saya baik adanya. Saya selalu menananamkan dan saya yakin pengejar beasiswa juga pernah mengalami hal yang sama.
Banyak hal dalam keluarga yang saya lewatkan. Rul, terlalu mahal mimpi ini hingga perjuangan tak berujung ini harus saya bayar mahal. Meninggalkan momen penting di keluarga adalah hal yang sangat miris dan menyedihkan kalau diingat-ingat namun semangat dari teman-teman yang justru lebih berat dari saya yang sudah memiliki pasangan dan anak dan mereka harus meninggalkan pasangannya justru memiliki beban ganda dalam belajar. Your effort is nothing Rul compare to them lah.
Orang di luar sana berfikir betapa enaknya mendapatkan beasiswa dan mendapatkan pelatihan di Bali bisa jalan-jalan, gaji sebagai PNS jalan terus ditambah lagi uang saku selama pelatihan di IALF yang saya terima tiap bulan melebihi gaji PNS saya sebagai PNS Gol.III/b.
Namun pernahkah terbesit dipikiran mereka disini saya harus berkompetisi melawan kemalasan diri, belajar yang hampir bisa dibilang dari semenjak bangun pagi sampai tidur lagi, dididik dengan gaya barat yang masih asing bagi saya mulai dari kebiasaan sampai hal akademis hingga terkadang harus berkompromi tentang masalah ibadah.
Sholat kadang 'kering' saya rasa saya sering menceritakan hal ini kepada teman bahwa shalat saya sudah tidak khusu karena dikejar deadlline tugas dan hanya disela-sela waktu istrihat. Jadwal pelajaran yang sangat dan super padat di IALF membuat sholat saya terburu-buru. Saya jarang sholat sunnat sepeti tahajjud dan Dhuha. Semua hilang kekhusukan itu, semua hanya dipenuhi ketakutan akan IELTS. seolah dunia saya semakin sempit hanya berkisar seputar IELTS dan segala tetek bengeknya. Kejadian-kejadian di luar tidak menarik di mata saya. mengabarkan kabar untuk keluarga saya pun sudah malas karena saya terperangkap dengan banyaknya kekuarangan saya di IELTS preparation.
Di awal-awal EAP saya sangat frustasi dengan diri saya, saya benar-benar merasa bodoh mungkin karena belum terbiasa ditambah lagi gangguan konsentrasi saya dimana sebagian orang sudah mengerti namun saya belum mengerti. Oh ya Allah begitu berat EAP bagi saya sehingga berhenti sejenak berfikir susahnya.
Sebelumnya saya sudah sempat menghentikan ke psikiater dan mengkomsumsi obat dokter namun rasanya kumat lagi diri saya saat beratnya beban EAP. Sesekali ingin loncat dari lantai dua kosan saya di Denpasar. Saya benar-benar frsutasi dengan tugas yang tidak ada hentinya dan saya tidak mengalami progress sama sekali. Saya melakukan tes di RS Sanglah Denpasar MMPI I. Yah saya stress ringan dan parahnya diagnosa psikiater saya mengidap bipolar disorder. Entahlah saya merasa dokter ini ngacau saya merasa tak merasa demikian. Saya selanjutnya pindah psikiater lain padahal yang sebelumnya itu adalah psikiater senior dan jam terbangnya sering ke luar negeri dan pengalamannya mengajar sudah lumayan namun bisa-bisanya melihat saya sebagai seorang bipolar disorder. heheheh. Saya merasa nyaman dengan psikiater sekarang di Denpasar sampai akhir EAP saya tetap konsultasi dan meminum obat.
Om saya meninggal saat saya EAP. Ini bukan hanya sekedar om karena dari semenjak SMA sampai saya bekerja sekarang telah tinggal bersamanya dikarenakan tante saya tak memiliki anak. Saya merasa bersalah ketika memutuskan tidak pulang. Namun disi lain adakah yang tahu kalau uang dikantong saya hanya sekitar 100ribuan. Saya pantang untung mengutang saya malu sebagai seorang penerima beasiswa berhutang terus. Malu rasanya. Disamping itu saya harus memilih apakah pulang Palu untuk melayat atau membiarkan penampilan seni tanpa saya yang sudah kami siapkan beberapa hari sebelumnya untuk berlomba pada malam farewell di Konsulat Australia di Bali. Saat berangkat ke acara tersebut saya menangis karena di Palu sana keluarga saya sedang berduka dan saya harus berpura-pura bersuka ria malam itu. Sesak rasanya namun alhamdulillah hadiahnya grup kami menjadi juara lagu Do I Make You Proud sepertinya dipersembahkan untuk om saya.
Berjuang untuk mendapatkan disability assessment yang dipersyaratkan Australia Awards Scholarships. Saya harus berangkat 'diam-diam' ke Jakarta untuk melakukan cek up di ADHD Centre sebuah lembaga untuk memberikan pemeriksaan kepada orang-orang dengan gangguan konsentrasi termasuk disability yang saya idap yakni Attention Deficit Disorder (ADD) disertai mild dyslexia. Saya tidak ingin teman sekelas saya tahu kalau saya berangkat ke Jakarta dan keluarga di Palu dan di Denpasar tak ada yang tahu. Akhirnya tesnya selesai dengan biaya mengutang sana sini untuk biaya tiket dan biaya med check yang tidak dicover sama AAS. Sorry to say kali ini namun saya berhasil mendapat approval lewat disability assessment tersebut. Thanks dokter Hendryk Timur sudah memberikan pemeriksaan yang sangat komprehensif.
Di akhir-akhir EAP kami makin disibukkan dengan DP yah DP bukan Dewi Persik namun Discussion Paper dimana kami harus menulis isu yang debatable di bidang kita masing-masing sebanyak 2000 kata. Karena saya memasuki ilmu yang baru yang akan saya pelajari di Australia maka saya melakukan riset kecil-kecil mengenai masalah dalam lingkup psikologi pendidikan. Banyak judul yang saya tawarkan namun tidak diterima oleh Mr. Jerry Cross. Tanpa melebih-melebihkan Mr. Jerry memang sangat disiplin dibanding guru-guru lain. Jika di kelas lain bisa memilih isu dari satu sisi dan sumbernya tidak harus 10 sumber dan panjangnya juga hanya 1500 namun aturan itu tak berlaku di kelas kami. kami selalu merasa 'disiksa' oleh Mr. J namun semangat kami untuk saling menyemangati kami berhasil melewati derita ini bersama-bersama dengan senyuman bahagia.
Senyum 3MB menjelang ujian bersama I/A/L/F team, Australia Awards Scholarships Team and beloved teacher Jerry Cross |
Fantastik, hasil IELTS dari kelas kami membawa kami seisi kelas berhasil masuk ke kampus tujuan masing-masing dan tak ada satupun dari kami yang harus mengulang. Prestasi besar bagi Mr. Jerry yang berhasil menjadikan kami murid yang rajin. Semua karena usaha dia membuat kita terpacu untuk belajar terutama bagi saya yang benar-benar terbelakang karena memiliki disability. Jika teman-teman memiliki disability termasuk learning difficulty sebaiknya memberitahukan kepada guru dan IALF Team agar disesuaikan pengajaran yang dibutuhkan. Berkat usaha Mr. Jerry Cross yang mungkin takkan kulupakan adalah dia memperjuangkan untuk saya untuk mendapatkan tambahan waktu untuk tes IELTS. Alhamdulillah Vlad selaku pimpinan IALF memberikan tambahan waktu 30 menit untuk writing test dan 30 menit untuk reading dan saya dipindahkan ke ruangan tersendiri dan dijaga dengan 1 orang staf IALF selama tes berlangsung. Akhirnya senyum manis merekah saat IELTS saya cukup untuk masuk ke Flinders bahkah beberapa band melebihi yang dipersyaratkan jurusan saya. Alhamdulillah ya Allah.
Kiri (Jerry Cross), Tengah (Herul) dan kanan (Vlad) |
Khairullah
Master of Education - Special Education
Sturt Road, Bedford Park | South Australia | 5042
GPO Box 2100 | Adelaide SA 5001Email: raza0017@flinders.edu.au
Mobile: +61450-191414
Tidak ada komentar:
Posting Komentar