Darwin, 29 November 2006
o Mendefinisikan Shock culture tentu setiap kepala memiliki pandangan yang berbeda tapi pada dasarnya intinya sama, kalau saya pribadi dengan pengalaman yang saya alami dan fahami adalah suatu hal yang terjadi dimana keguncangan yang dialami seseorang terhadap perbedaan kebiasaan yang dimiliki dengan budaya setempat . Hal itulah mungkin yang banyak terjadi dengan saya saat terlibat dalam program Youth Exchange di salah satu negara bagian Australia. Saya melihat ada semacam resistensi yang terjadi pada diri saat mengalami perbedaan tersebut. Di lain waktu saya bisa menjadi sangat apatis dengan kejadian-kejadian yang ada.
• Dalam urusan domestik di dalam keluarga dimana setiap anggota keluarga memiliki tanggung jawab yang sama. Sangat berbeda dengan kultur dimana saya tumbuh berkembang dimana kebanyakan urusan domestik dimonopoli atau dilimpahkan kepada perempuan. Saya melihat pria Australia lebih membiasakan diri dengan urusan domestik seperti mencuci piring, membuat sarapan dan menyeterika pakaian. Hal ini terlihat sederhana tapi jika beban seorang ibu dibagi tentu akan terasa ringan. Pelajaran yang saya dapatkan mereka tidak merasa seperti “girly” dengan melakukan aktifitas seperti diatas sangat kontras dengan pria di Indonesia (kebanyakan). Hal ini juga disebabkan dengan peralatan dapur di Australia lebih menyenangkan dan sangat jauh dari kesan berantakan seperti dapur kita di Indonesia.
• Binatang piaraan, diawal ditempatkan di rumah Bapak Hans Moshammer hal yang terberat buat saya bahwa “I’m not familiar with a dog” (mengutip ucapan kawan saya). Sang bapak anjing piaraan yang sangat lucu masuk ke dalam rumah dan kadang kalau saya bersantai di sofa sesekali hewan manis ini menaiki saya. Sangat lucu tentunya tapi itu lagi saya tidak familiar dengan anjing. Saya sangat menghargai keluarga ini dan binatang piaraan ini bagaikan anak bagi pemilik rumah. Saya belajar familiar dengan Billy. Sesekali saya bisa bermain dengan Billy dan sampai saat ini setiap saya mengirim pesan buat sang bapak saya selalu menanyakan kabar Billy lebih awal dibanding seisi rumah.
• Self Help, diantara berbagai pelajaran berarti yakni self help sangat diutamakan. Setiap hari saya membuat sarapan untuk saya sendiri. Semuanya sudah tersedia bahannya hanya membutuhkan sedikit keterampilan dalam mengolah. Masalah gosong atau terlalu berbumbu sudah biasa paling mantap memang masakan sendiri. Dalam hal ini saya bisa lebih leluasa memilih menu sarapan buat saya sendiri. Hal yang sedikit beda dengan di rumah saya biasanya sarapannya seragam nasi goreng untuk semua dan secangkir teh. Nah kali ini saya melihat perbedaaan yang sangat variatif di meja makan. Bapaknya bisa memilih hotdog untuk sarapan, saya memilih cereal, dan ibunya dengan nasi tentunya.
• Alcohol at dinner, sepertinya sang bapak jarang melewatkannya makan malam di rumah tanpa alkohol. Segelas alkohol menjadi pelengkap di setiap makan malam sang bapak. Saat awal dia sempat menawari, hanya cukup tersenyum sepertinya jawaban “I don’t drink” membuatnya cukup puas. Terkadang aroma mulut seseorang saat meminum alkohol terasa membuat sulit berkonsentrasi pada perbincangan di meja makan. Sampai saat ini aku merindukan aroma mulut seperti itu dihiasi obrolan ringan sehari-hari.
• Homesick, saya sendiri merasa semuanya berjalan lancar dan semuanya indah tapi sesekali saya rindu makan bakso di Depot Darisa, canda tawa bersama ponakan, dan kamar tidur saya. Saya berfikir di sini saya sesekali bisa makan bakso, bukankah anak-anak disini canda tawanya sama dengan ponakan-ponakan saya, dan bukankah kamar tidur yang saya tempati saat ini sudah bisa dikategorikan bintang lima hotel ternama (narsis). Ada hal yang tak bisa tergantikan yakni suasana. Menelpon teman-teman walau hanya sekedar menanyakan kabar terasa memberi suasana yang lebih cerah.
• Flirting on Public Place, “astaghfirullahal adzim” adalah kata-kata yang sering saya ucapkan di awal kedatangan saya di Darwin. Jika mengenang kembali saya merasa sangat norak bin kampung. Kita bisa menemukan sepasang kekasih bercumbu di sudut-sudut jalan, di restauran, dan di dalam trasnportasi umum. Begitulah kebanyakan orang Australia mengekspresikan cinta terhadap lawan jenis. Di Indonesia berpelukan dengan lawan jenis adalah hal yang belum pernah saya lakukan setelah berpartisipasi dalam program ini saya merasa tak bisa lagi menolak pelukan-pelukan lawan jenis. Mind your business itulah kata-kata yang sering terlontar di benak saya ketika melihat hal-hal yang kurang sedap di pandang tapi di lain pihak my heart and mind is my business too.
• Knackered VS Naked, salah tanggap akan ungkapan juga sering terjadi biasanya saya menggunakannya sebagai media pembelajaran dan mengkonfirmasi dan menanyakannya langsung. Suatu malam kami menyelenggarakan pagelaran seni, Ashly dan Miranda kawan saya dan mereka berdua berpacaran. Saat bertemu mereka saya menanyakan Ashly why u didn’t see the culture perfomance? (Ashley kenapa kamu tidak nonton pagelaran seni?)Miranda was Knackered after office hours(Miranda Capek setelah pulang kantor? Kata knackered yang berarti capek seolah-olah terdengar di telinga saya seperti kata “Naked” yang berarti telanjang. Saya pun menyimpulkan bahwa Miranda telanjang setelah pulang kantor terus Ashly teransang jadi kalian tidak pergi nonton pagelaran seni. Semua orang yang ada terbahak-bahak mendengar ucapan saya. Miranda sendiri tersenyum simpul dan Ashly dengan gayanya yang kalem menjelaskan perbedaan antara kedua kata tersebut. Semenjak saat itu saya mendapat julukan Mr.Knackered.
• Dry Toilet, sepertinya jarang sekali kita mendapatkan toilet yang bebas air di Indonesia. Sampai-sampai waktu saya mengobrol lewat telepon dengan kawan saya di Indonesia dia bilang Rul kok bisa ada toilet kering terus baung air pakai apa dong.
o Saya mengerti rasa penasaran kawan saya tersebut. Di indonesia kita memakai air saat buang air baik buang air besar dan kecil, di sana mereka menggunakan tissu untuk hajat tersebut. Berbagai siasat bisa saya gunakan saat buang air besar yakni setelah buang air besar langsung mandi dengan shower. Toilet Australia sangat bersih dan selalu kering hal tersebut sedikit berbeda dengan kondis toilet kebanyakan di Indonesia yang selalu basah. Di dalam toilet biasanya dilengkapi pengharumsangat jauh dari kesan jorok. Bahkan beberapa toilet keluarga Australia memiliki perpustakaan kecil dengan berbagai koleksi buku dan majalah. Mungkin sambil buang air mereka membaca majalah atau buku. Terkadang saya mendapatkan karya-karya seni dalam toilet di sana.
• Indonesian Host Family, jujur diawal membuat saya sedikit kecewa karena saya mendapatkan keluarga Indonesia di Darwin sebagai host family saya. Saya memahami kekecewaan itu karena setiap peserta tentu berharap mendapatkan keluarga Australia. Ternyata aku baru tahu Australia adalah negara dengan multikultur. Saya sungguh sangat bersyukur perjalanan saya akan terasa kurang lengkap tanpa bertemu dengan keluarga bapak Bobby Wibisono dan menghabiskan waktu bersama keluarga ini di Darwin. Keluarga yang penuh perhatian dan kasih sayang melengkapi perjalanan saya di Darwin. Sampai saat ini saya masih tetap mengirim pesan melalui surat elektronik kepada keluarga beliau di Darwin.
• Clubbing at Gay night Club, rasanya kurang lengkap berkunjung ke Australia tanpa menikmati wisata tengah malam. Lagi pula saat itu adalah hari-hari terakhir kami di Darwin. Jadi kami ingin berwisata semalam penuh dari satu club ke club yang lain. Satu hal yang sedikit memalukan tapi tersirat pelajaran. Malam itu malam di akhir pekan. kami masuk ke sebuah night club tanpa mengetahui memasuki daerah yang sangat asing. Setelah masuk ke dalam serasa ada yang “aneh” pasangannya wanita bersama wanita begitupun pria dan pria. Semuanya hanya saling memandang kami memutuskan untuk keluar dari night club tersebut sebelum salah satu dari kami menjadi oknum (hehehe). Saat di pintu depan tertulis jelas di dinding “you’re entering gay and lesbian zone”. Kami pun harus menikmati tiket mahal malam itu dengan mengurungkan niat untuk meninggalkan tempat itu. Kekecewaan kami terobati engan diputarnya sebuah atraksi tepat jam 02.00 pagi, sebuah atraksi pemutaran film reality show. sebuah film pendek bagaimana kehidupan seorang gay yang awalnya menutupi kehidupan pribadinya hingga suatu hari dia mendeklarasikan diri as a gay dan siap go public. Lucu juga malam itu yang awalnya kesasar masuk di night club tersebut ternyata banyak hal dijumpai.
Catatan mengenang hari-hari indah di Darwin dan Alice Springs, Australia bersama 17 teman-teman dari penjuru Indonesia
o Mendefinisikan Shock culture tentu setiap kepala memiliki pandangan yang berbeda tapi pada dasarnya intinya sama, kalau saya pribadi dengan pengalaman yang saya alami dan fahami adalah suatu hal yang terjadi dimana keguncangan yang dialami seseorang terhadap perbedaan kebiasaan yang dimiliki dengan budaya setempat . Hal itulah mungkin yang banyak terjadi dengan saya saat terlibat dalam program Youth Exchange di salah satu negara bagian Australia. Saya melihat ada semacam resistensi yang terjadi pada diri saat mengalami perbedaan tersebut. Di lain waktu saya bisa menjadi sangat apatis dengan kejadian-kejadian yang ada.
• Dalam urusan domestik di dalam keluarga dimana setiap anggota keluarga memiliki tanggung jawab yang sama. Sangat berbeda dengan kultur dimana saya tumbuh berkembang dimana kebanyakan urusan domestik dimonopoli atau dilimpahkan kepada perempuan. Saya melihat pria Australia lebih membiasakan diri dengan urusan domestik seperti mencuci piring, membuat sarapan dan menyeterika pakaian. Hal ini terlihat sederhana tapi jika beban seorang ibu dibagi tentu akan terasa ringan. Pelajaran yang saya dapatkan mereka tidak merasa seperti “girly” dengan melakukan aktifitas seperti diatas sangat kontras dengan pria di Indonesia (kebanyakan). Hal ini juga disebabkan dengan peralatan dapur di Australia lebih menyenangkan dan sangat jauh dari kesan berantakan seperti dapur kita di Indonesia.
• Binatang piaraan, diawal ditempatkan di rumah Bapak Hans Moshammer hal yang terberat buat saya bahwa “I’m not familiar with a dog” (mengutip ucapan kawan saya). Sang bapak anjing piaraan yang sangat lucu masuk ke dalam rumah dan kadang kalau saya bersantai di sofa sesekali hewan manis ini menaiki saya. Sangat lucu tentunya tapi itu lagi saya tidak familiar dengan anjing. Saya sangat menghargai keluarga ini dan binatang piaraan ini bagaikan anak bagi pemilik rumah. Saya belajar familiar dengan Billy. Sesekali saya bisa bermain dengan Billy dan sampai saat ini setiap saya mengirim pesan buat sang bapak saya selalu menanyakan kabar Billy lebih awal dibanding seisi rumah.
• Self Help, diantara berbagai pelajaran berarti yakni self help sangat diutamakan. Setiap hari saya membuat sarapan untuk saya sendiri. Semuanya sudah tersedia bahannya hanya membutuhkan sedikit keterampilan dalam mengolah. Masalah gosong atau terlalu berbumbu sudah biasa paling mantap memang masakan sendiri. Dalam hal ini saya bisa lebih leluasa memilih menu sarapan buat saya sendiri. Hal yang sedikit beda dengan di rumah saya biasanya sarapannya seragam nasi goreng untuk semua dan secangkir teh. Nah kali ini saya melihat perbedaaan yang sangat variatif di meja makan. Bapaknya bisa memilih hotdog untuk sarapan, saya memilih cereal, dan ibunya dengan nasi tentunya.
• Alcohol at dinner, sepertinya sang bapak jarang melewatkannya makan malam di rumah tanpa alkohol. Segelas alkohol menjadi pelengkap di setiap makan malam sang bapak. Saat awal dia sempat menawari, hanya cukup tersenyum sepertinya jawaban “I don’t drink” membuatnya cukup puas. Terkadang aroma mulut seseorang saat meminum alkohol terasa membuat sulit berkonsentrasi pada perbincangan di meja makan. Sampai saat ini aku merindukan aroma mulut seperti itu dihiasi obrolan ringan sehari-hari.
• Homesick, saya sendiri merasa semuanya berjalan lancar dan semuanya indah tapi sesekali saya rindu makan bakso di Depot Darisa, canda tawa bersama ponakan, dan kamar tidur saya. Saya berfikir di sini saya sesekali bisa makan bakso, bukankah anak-anak disini canda tawanya sama dengan ponakan-ponakan saya, dan bukankah kamar tidur yang saya tempati saat ini sudah bisa dikategorikan bintang lima hotel ternama (narsis). Ada hal yang tak bisa tergantikan yakni suasana. Menelpon teman-teman walau hanya sekedar menanyakan kabar terasa memberi suasana yang lebih cerah.
• Flirting on Public Place, “astaghfirullahal adzim” adalah kata-kata yang sering saya ucapkan di awal kedatangan saya di Darwin. Jika mengenang kembali saya merasa sangat norak bin kampung. Kita bisa menemukan sepasang kekasih bercumbu di sudut-sudut jalan, di restauran, dan di dalam trasnportasi umum. Begitulah kebanyakan orang Australia mengekspresikan cinta terhadap lawan jenis. Di Indonesia berpelukan dengan lawan jenis adalah hal yang belum pernah saya lakukan setelah berpartisipasi dalam program ini saya merasa tak bisa lagi menolak pelukan-pelukan lawan jenis. Mind your business itulah kata-kata yang sering terlontar di benak saya ketika melihat hal-hal yang kurang sedap di pandang tapi di lain pihak my heart and mind is my business too.
• Knackered VS Naked, salah tanggap akan ungkapan juga sering terjadi biasanya saya menggunakannya sebagai media pembelajaran dan mengkonfirmasi dan menanyakannya langsung. Suatu malam kami menyelenggarakan pagelaran seni, Ashly dan Miranda kawan saya dan mereka berdua berpacaran. Saat bertemu mereka saya menanyakan Ashly why u didn’t see the culture perfomance? (Ashley kenapa kamu tidak nonton pagelaran seni?)Miranda was Knackered after office hours(Miranda Capek setelah pulang kantor? Kata knackered yang berarti capek seolah-olah terdengar di telinga saya seperti kata “Naked” yang berarti telanjang. Saya pun menyimpulkan bahwa Miranda telanjang setelah pulang kantor terus Ashly teransang jadi kalian tidak pergi nonton pagelaran seni. Semua orang yang ada terbahak-bahak mendengar ucapan saya. Miranda sendiri tersenyum simpul dan Ashly dengan gayanya yang kalem menjelaskan perbedaan antara kedua kata tersebut. Semenjak saat itu saya mendapat julukan Mr.Knackered.
• Dry Toilet, sepertinya jarang sekali kita mendapatkan toilet yang bebas air di Indonesia. Sampai-sampai waktu saya mengobrol lewat telepon dengan kawan saya di Indonesia dia bilang Rul kok bisa ada toilet kering terus baung air pakai apa dong.
o Saya mengerti rasa penasaran kawan saya tersebut. Di indonesia kita memakai air saat buang air baik buang air besar dan kecil, di sana mereka menggunakan tissu untuk hajat tersebut. Berbagai siasat bisa saya gunakan saat buang air besar yakni setelah buang air besar langsung mandi dengan shower. Toilet Australia sangat bersih dan selalu kering hal tersebut sedikit berbeda dengan kondis toilet kebanyakan di Indonesia yang selalu basah. Di dalam toilet biasanya dilengkapi pengharumsangat jauh dari kesan jorok. Bahkan beberapa toilet keluarga Australia memiliki perpustakaan kecil dengan berbagai koleksi buku dan majalah. Mungkin sambil buang air mereka membaca majalah atau buku. Terkadang saya mendapatkan karya-karya seni dalam toilet di sana.
• Indonesian Host Family, jujur diawal membuat saya sedikit kecewa karena saya mendapatkan keluarga Indonesia di Darwin sebagai host family saya. Saya memahami kekecewaan itu karena setiap peserta tentu berharap mendapatkan keluarga Australia. Ternyata aku baru tahu Australia adalah negara dengan multikultur. Saya sungguh sangat bersyukur perjalanan saya akan terasa kurang lengkap tanpa bertemu dengan keluarga bapak Bobby Wibisono dan menghabiskan waktu bersama keluarga ini di Darwin. Keluarga yang penuh perhatian dan kasih sayang melengkapi perjalanan saya di Darwin. Sampai saat ini saya masih tetap mengirim pesan melalui surat elektronik kepada keluarga beliau di Darwin.
• Clubbing at Gay night Club, rasanya kurang lengkap berkunjung ke Australia tanpa menikmati wisata tengah malam. Lagi pula saat itu adalah hari-hari terakhir kami di Darwin. Jadi kami ingin berwisata semalam penuh dari satu club ke club yang lain. Satu hal yang sedikit memalukan tapi tersirat pelajaran. Malam itu malam di akhir pekan. kami masuk ke sebuah night club tanpa mengetahui memasuki daerah yang sangat asing. Setelah masuk ke dalam serasa ada yang “aneh” pasangannya wanita bersama wanita begitupun pria dan pria. Semuanya hanya saling memandang kami memutuskan untuk keluar dari night club tersebut sebelum salah satu dari kami menjadi oknum (hehehe). Saat di pintu depan tertulis jelas di dinding “you’re entering gay and lesbian zone”. Kami pun harus menikmati tiket mahal malam itu dengan mengurungkan niat untuk meninggalkan tempat itu. Kekecewaan kami terobati engan diputarnya sebuah atraksi tepat jam 02.00 pagi, sebuah atraksi pemutaran film reality show. sebuah film pendek bagaimana kehidupan seorang gay yang awalnya menutupi kehidupan pribadinya hingga suatu hari dia mendeklarasikan diri as a gay dan siap go public. Lucu juga malam itu yang awalnya kesasar masuk di night club tersebut ternyata banyak hal dijumpai.
Catatan mengenang hari-hari indah di Darwin dan Alice Springs, Australia bersama 17 teman-teman dari penjuru Indonesia